NAME: Bryan
LOCATION: West Djakarta!
BIRTHDATE: July 18th
SIGN: Cancer
ETHNICITY: Batak
HEIGHT: 173 cm
WEIGHT: 70 kg
CONTACT: myranselbaleno@yahoo.com
YM: myranselbaleno


















powered by FreeFind


Powered by Blogger Pro™
Klik untuk updating blog gw ini Subscribe to receive recently updated my blog.
...for your

side only!!




a painting by Michele Garvert

Friday, December 19, 2003

Fitri, Duapuluh satu tahun...

Elegi buat Fitri

Sebut saja namaku Fitri. Nama yg bagus bukan? Tapi romantika kehidupanku tidaklah seelok ukiran nama lengkap di akte lahir. Betapa tidak, aku yg lahir dari rahim mbokne yang beradat ngelotok dan selama tujuhbelas tahun disuapi tangan besi pakne, saat ini tengah menghadapi antiklimaks hidup. Kurasa, istilah itu yang bisa merangkum keadaan sekarang ini.

Sejak tamat SMEA, aku merantau ke ibukota karena diajak mbak. Praktis aku harus bersaing dengan pelamar-pelamar lainnya. Tahun pertama di ibukota, melalui hubungan pertemanan mbak yang luwes bergaul, aku menempati posisi staf administrasi sebuah perusahaan otomotif. Sebuah mess mungil nan asri disediakan bagi para karyawan. Sejak itulah aku mulai membantu mbak untuk menyambung nafas keluarga di desa.

Tak usah kuumbar ukuran vitalku karena kisah ini bukan roman stensilan. Alur cerita akan mengarah ke soal cinta, tidak jauh-jauh memang. Hanya saja cinta yang kurasakan ternyata palsu, kedok, akal bulus dari mahluk yang bernama lelaki. Tidak, ini bukan generalisasi semu yang terjangkit dari rasa perih hati yang dibuat-buat.

Pada mulanya prestasi pekerjaanku meroket seiring penjualan yang melebihi target bos. Lalu ia mempercayakanku menangani klien-klien yang lebih besar lagi. Dan itu artinya, makan malam bersama, karaoke, ... ah pokoknya hal-hal yang berusaha meng-entertain klien. Hingga aku berkenalan dengan pengusaha muda berkharisma tinggi, duda dengan satu anak. Bagiku saat itu, ialah segalanya yang kuidamkan. Anaknya yang masih balita sangat akrab denganku. Lucu, menggemaskan, berambut lurus dan hidung mancung persis ayahnya.

Tubuh basah berpeluh keringat itu menindihku, tangannya hitam legam menelikung kedua lenganku yg kurus. Berderit-derit suara dipan seakan menjeritkan penolakanku. Tak kuingat lagi kata-kata manisnya seraya mencopoti pakaianku setengah jam lalu.

'Aku akan bertanggung jawab,' menyeringai dia di sela-sela kekaburan mataku. Merangsek, memasuki kewanitaanku. Aku, Fitria, dua puluh satu tahun.... Hari yang tak terlupakan, seorang wanita mandiri terhipnotis kalimat rayuan standar seorang player. Lirih bibirku ucapkan sebuah kalimat putus asa nan usang, 'Jangan tinggalkan aku, Mas. Berjanjilah.' Separuh hati kecilku meringis perih menertawai sandiwara hidup di atas ranjang kusut.

'Aku positif, Mas. Empat minggu.'
'Lalu?'
'Tanggung jawabmu, Biadab!'
'Nikah siri. Lain tidak.'
'Aku tidak akan pasrah seperti mantanmu, Mas! Anaknya kau rebut setelah cerai...'

Satu malam, stres yg memuncak, kutelan duapuluh pil Paramex. Namun kandunganku terlalu tangguh. Seorang sahabat habis-habisan memarahiku di tengah hingar bingar musik hidup ketika kutelepon meminta nasihatnya. Alangkah bahagianya mereka. Tidak seperti aku yang kerap disindir rekan terlihat lebih tua dari umurku. Aah....

Haruskah aku aborsi atau kurawat janin ini hingga lahir dan kubesarkan dengan kasih sayang ibu normal?
Aku wanita muda dengan penghasilan yang mencukupi. Tidak dengan tambahan satu nyawa lagi.... Maafkan ibumu, Nak, batinku dalam-dalam. Ibu? Entahlah, itupun jika aku masih pantas kau sebut bunda.
Atau kurelakan saja hak asuh bayi ini kepada orang lain, kelak bila anakku lahir sehat? Adakah lembaga di Indonesia yang mau memayungi nasibku ini? Aku butuh tempat berlindung. Hatiku letih. Cintaku berai.


o 0 o

Kisah ini seperti yang dituturkan Fitri pada penulis semalam suntuk saat berkenalan dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Di antara geliat dan dengkur penumpang bis malam, Fitri membeberkan rahasia di balik kemontokan pipinya. 'Aku hamil, Ray. Dua dokter yang berbeda menguatkan kegelisahanku. Bapaknya bangsat. Ibunya tolol. Entah jadi apa nantinya janin kami ini. Tolong aku, ya. Aku tak mungkin pulang ke Romo...'

Fitri bertemu lelaki yang tepat untuk bicara. Lelaki yang tahu persis standard operational seorang player. Sejurus kemudian hanya 'Oh begitu?', 'Ya, ampun...', atau 'Pantesan...' dengan nada heran setengah memastikan.

Maaf kalau ada bumbu pedes asin di sana sini. Maklum, mengetik kata demi kata sambil diselingi bersin sisa flu dan batuk tiga malam sungguh tidak gampang. Besok aku ke Pontianak, Kalimantan Barat. Berempat satu kamar. Ada yang mau dadah-dadah buat aku nanti jam lima sore di Tanjung Priuk? Cari aja pria klimis bercelana bolong. Tanpa janggut. Puas, sayang? ;)

4:28 PM -
 

Comments: Post a Comment