NAME: Bryan LOCATION: West Djakarta! BIRTHDATE: July 18th SIGN: Cancer ETHNICITY: Batak HEIGHT: 173 cm WEIGHT: 70 kg CONTACT:myranselbaleno@yahoo.com YM: myranselbaleno
Mungkin aku hanya berkhayal. Mungkin juga tidak. Tapi tetes-tetes hujan itu mulai melantunkan tembang ‘New York-New York’-nya Frank Sinatra.
Tik-tik-tik-tirik tik-tik-tiktirik tik.
(dan kurasakan sesuatu yang lebih dari sekedar New York-New York. Itu suara genderang perang. Genderang sosok-sosok dengan pengait di luar jendela. Oh, tentu saja aku tahu, aku tahu mereka mengintai setiap saat. Menunggu saat aku lengah dan terjatuh. Menunggu sampai aku membiarkan mereka masuk dan merenggut selembar nyawaku. Seperti waktu itu.
Aku tahu. Aku pernah melihat mereka.
Buruk. Muka mereka buruk-buruk. Hitam. Kelam. Penuh dengan dosa.
Dosaku.
Dosaku pernah menyeretku. Dengan kait yang berkarat.
”Bayar!” itu yang mereka serukan padaku.
Lalu aku berteriak..)
“Ray? Kok ngelamun?”
Hmm? Kualihkan pandanganku dari tetes-tetes air.
”Ah, tidak. Aku hanya memikirkan arti kehidupan. Sesuatu yang hanya bisa dimengerti saat kita hanya tinggal sesenti dari kematian” kataku.
”Aish! Stop, Ray,” Magda menyahutku cepat,”Jangan mulai berkotbah lagi.”
“Hahahaha.”
“Tapi sungguh, Ray,” kudengar Magda berkata,”aku heran kenapa kamu kok bisa seperti ini. Benar, deh, berbeda banget sama yang dulu-dulu aku kenal. Sekarang kesannya tambah!. Uh!tambah!mmm!. apa ya?”
“Cakep? Gagah? Eksekutif? Kebapakan? Seksi?”
Magda tertawa. Aku juga.
“Entahlah, Da. Mungkin aku hanya bertambah dewasa saja. Mungkin aku sudah jenuh dengan semua hidupku yang sia-sia,” kataku setelah tawa itu mereda.
“Sia-sia?”
“Ya. Sia-sia.”
“Tapi tetap saja susah dipercaya, Ray. Bayangkan, coba, kamu yang dulu begitu heboh!.”
“Heboh bagaimana?”
“Ya heboh-heboh begitu. Mata bandel, senyum ngegemesin!”
“Muka mesum!”
“Hahahaha. Iya! Muka mesum!”
“Banyolan porno!.”
“Yak tul!”
“Cocot putih!”
“Eh! Iya! Kok kamu dari tadi ngga merokok?”
Kuangkat bahuku,”Sudah berhenti.”
Magda menepuk dahinya dengan telapak tangan.
“Astaga, Ray.”
“Iya. Benar. Astaga.”
“Jangan katakan setelah ini kamu mau masuk sekolah pendeta atau terjun ke barisan depan JI atau bahkan bertapa di Shaolin sampai akhir hayat!.”
“Wah, kamu kok tahu?”
“Shit!”
Tapi ekspresi keterkejutannya hanya sesaat, dan tawa Magda meledak. Magda menopang dagunya dengan tangan, lalu matanya menatapku. Tersenyum ia berkata,”Tapi syukurlah kamu ngga kehilangan selera humor.”
Aku tersenyum,”Hope so.”
“Tapi bener, nih, udah ngga mesum?”
“Serius.”
“Hhhhh!. Sia-sia dong aku datang jauh-jauh dari Banjarmasin.”
“Nah..loh!.”
NONIK KEBANYAKAN
sebuah sindiran realita
Katakanlah ia saudara sepupuku. Muka kami juga tidak berbeda jauh. Cantik. Itu kata mereka sih, kalau menurutku!hmmm! iya juga. Hahaha. Tapi yang pasti, sekarang ini aku sedang jijik sekali melihat Ribka. Uuh, apa yang ia lakukan saat ini benar-benar membuat perutku mulas. Bersimpuh di lantai, bersandar di sisi tempat tidur, dengan pakaian dalam berantakan, rambut acak-acakan, menangis pula dengan telepon masih menempel di telinga! Aduh-aduh-aduh!!
“Ayolah, Jef! aku masih cinta kamu.. aku ngga bisa lepas, Jef..”
Nah! Kalian bisa bayangkan, kan, hanya dengan mendengar saja, apa yang kira-kira sedang terjadi di dalam kamar ini? Yap! Kalian benar! Sepupuku Ribka sedang mengemis cinta. Aduh-aduh-aduh!!
“Jangan Jef! Aku pasti berubah! Janji! Sumpah! Ayolah, Sayang!!”
Sayang? Sayang? Wah! Aku takkan memanggil orang yang sudah mencampakkanku dengan sebutan “sayang”. Kalau aku, pasti sudah kupanggil dia “bangsat” atau “pecundang”. Itu lebih baik, kan? Pasti!
“Iya, Jef sayang! Sumpah! Sumpah abis, deh! Janji! aduh, please dong! Jef!! Jef!!”
Yak! Pasti teleponnya diputus. Bertaruh satu juta Ribka pasti akan merengek-rengek padaku lima menit, lalu setelah puas menggangguku, ia akan menelepon Jeffrey lagi. Bertaruh!! Oke, dua puluh juta!! Yaa.. kalau aku punya duit, sih!
“El, gimana nih? Huuuu!. Teleponnya ditutup!”
“Aduh-aduh-aduh, Ribka,” kataku sok gusar,”kamu ini gimana, sih? Dari tadi juga udah ditutup terus sama dia. Ya sudah lah, biarin aja kayak gitu. Cowok juga masih banyak, kan? Aduh-aduh-aduh, mesti berapa kali sih aku bilang?”
“Tapi, El! yang ini eman banget..!”
Tuh lihat, mukanya sendu banget.
“Ya di-eman sih bukan gini caranya. Lagian kamu juga yang aneh.”
“Aneh gimana lagi, El. Kan udah aku bilang, aku cuman pingin dia selalu ada kalo aku lagi butuh. Ngga perlu datang deh, telepon juga udah oke.”
“Iya,” kataku sebal,”tapi kamu butuhnya tiap lima menit. Pantes aja cowok-cowok pada alergi. Mana ada cowok yang kudu ditelpon ato nelpon ceweknya tiap lima menit. Kawin aja sekalian. Lagian si Jeffrey udah mapan, kan enakan!..”
“Eh,” mendadak Ribka mengangkat kepalanya dari kakiku,”boleh juga tuh!”
“Astaga, Ribka! Aduh-aduh-aduh!!”
“Jef!Jeffrey? Sayang! jangan!! Jangan ditutup!! Sayang, kita kawin yuk!!”
Busyet!! Aku malah tertawa terbahak-bahak sekarang-tapi tentu saja tidak terang-terangan alias menahan-nahan. Suasana ini jadi lebih lucu ketimbang serial Friends yang setengah kunikmati sejak tadi. Tapi omong-omong, aku menang dua puluh juta, kan? Hehehe.
Tidak sampai lima menit, Ribka sudah merengek lagi. Padaku, tentu saja, soalnya Jeffrey pasti menutup telepon. Lagian mana ada cowok yang bisa diomongin begitu.
“Kawin yuk..”
Hihihi. Bayangin mukanya si Jeffrey.
“El, dia ngga mau, El. Gimana ini? Gimana ini?”
“Ya sudah,” sahutku,”biarin aja. Cari cowok lagi.”
“Enak ngomong, El. Susah, tau! Huuuuu!”
“Aduh-aduh-aduh, Rib. Kamu tuh ya udah cantik, gaul, seksi, ratu dugem, biang gosip, kepala geng, kuat minum, rokok nyepur, dahsyat deh, kurang apa lagi? Semua cowok dari si Amat tukang becak sampai si Man tukang somay pasti deh bertekuk lutut asal kamu buka paha dikit. Dikiiiit aja!”
“Sialan lu, El,” katanya, tapi ia tertawa juga. Tertawa sambil merengek.
“Udah. Ga usah ditelepon lagi si Jeffrey. Biarin aja tuh anak. Besok ditelepon lagi. Kali-kali aja dia lagi jutek urusan kantor.”
“Tapi keburu dia punya yang lain, El.”
“Kapan? Besok? Gile kali ya?”
“Iya, El. Kan Jeffrey banyak yang mau!.”
Tunggu!! Tunggu!! Aku lagi membayangkan sosok Jeffrey di otakku. Tinggi, agak gemuk, kulit pucat, mata sipit, rambut J-Style, baju ketat, celana metalik! eeee!.
“..udah anak tunggal, pewaris usaha otomotif bapaknya!..”
Ooooo! Iya, iya, yang itu agak terlewat tadi.
“..pegangannya Jag….”
Ooooo! Aduh-aduh-aduh.
“kemana-mana ga bawa duit!”
“Ha.. ga bawa duit?”
“Kartu, El, kartu. Gaul dikit, dong.”
“Ow. Oke.”
“handphone minimal tiga!”
“Udah-udah,” sahutku cepat sebelum penilaianku mulai kacau. Kok tiba-tiba saja sosok si Jeffrey jadi tampan yah? Hiiii.
“Pokoknya begitu, El. Pasti besok dia udah punya gacoan baru.”
“Ya udah. Cari aja yang kayak itu lagi.”
“Susah, El.”
“Gampang, pergi aja ke KW pake baju kutung atas pusar ama rok sepaha. Pasti dapet.”
Eh, iya, ini settingnya Surabaya, jadi kalo ngga tau apa itu KW, tanya aja sama teman-teman yang dari Surabaya, oke?
“Ih, El, jijik abis. Murahan dong?”
“Ya katanya mau dapetin yang kayak gitu.”
“Tapi Jeffrey beda, El. Jangankan KW, JJs aja dia ngga pernah.”
Iya, JJs juga di Surabaya.
“Masa, Rib? Aku aja yang ngga gaul pernah ke sana.”
“Makanya, El. Aku bilang juga. Si Jeffrey tuh anak tunggal mama. Ngga mungkin lah dia dibiar-biarin pergi ke tempat-tempat begitu. Mana rajin ke gereja pula. Duuuhhh! telepon lagi, ah.”
“Eiittt!!” kutangkap lengan Ribka,”Gila kamu ya? Ini kan sudah jam satu pagi. Tidur dulu, besok pagi-pagi baru telepon.”
Ribka menghempaskan tubuhnya di sampingku.
“Hey, pakai baju dong,” protesku.
“Ngga, ah,” sahutnya,”kali-kali besok Jeffrey udah ngga mau lagi sama aku.”
“Apa hubungannya?”
“Latihan. Jadi lesbi. Gapapa kan sama sepupu.”
“Aduh-aduh-aduh!! Pergi jauh-jauh!!”
Kutendang pantatnya. Ribka tertawa lalu mulai menindihku. Kami mulai berguling-guling sambil tertawa-tawa. Saling menggelitik. Girls play.
HEI!! Kami sepupu!! SE-PU-PU!! Jangan pik-tor!!
Klik! Ribka mematikan lampu besar. Suasana jadi temaram. Kulihat Ribka tidur terlentang di sampingku. Aku mulai melamun sambil menatap ke arahnya.
Semua orang tahu Ribka lebih cantik dariku. Semua teman-teman priaku mengatakan wajahnya mirip artis film mandarin. Hidungnya mancung. Matanya tak terlalu sipit. Kulitnya putih dan halus. Tak ada cacat. Jujur saja, aku merasa sakit hati waktu melihat dia seperti tadi, merengek-rengek cinta. Padahal aku percaya Ribka bisa ngedapetin cowok yang lebih dari Jeffrey.
Dulu, waktu kami sama-sama di SMU yang sama, aku dan Ribka membentuk geng berdua. Ribka selalu jadi yang paling menonjol. Aku? Aku lebih suka melihat. Soalnya aku tidak bisa seperti Ribka. Aku tidak pandai bergaul. Mencari bahan perbincangan yang tepat saja aku susah. Ceroboh dan suka menabrak barang-barang, itu lebih tepat dikatakan sebagai aku. Unperfect. Ribka? Dia anggun seperti dewi turun dari khayangan. Semua gerak-geriknya, pakaiannya, jadi contoh buat cewek-cewek se-SMU.
Kupikir-pikir lagi, mungkin hanya gara-gara aku sering terlihat bersama-sama dengan Ribka, makanya aku bisa berkenalan dengan orang-orang.
Buktinya, perbedaan kami semakin mencolok waktu kami kuliah di tempat yang berbeda. Ia semakin gaul, aku semakin menjadi kutu buku. Saat Ribka berangkat dengan cowok-cowok bermobil sport, aku tinggal di rumah belajar memasak pancake. Ia semakin banyak teman, aku semakin sedikit.
Asal tahu saja, dari dulu aku pingin jadi Ribka. Hidup bebas. Santai. Gaul. Jalan di catwalk. Gonta-ganti pacar seperti pakaian. Duh, senangnya.
Kalau aku jadi Ribka, uhhh, besok sudah kutendang si Jeffrey jauh-jauh, trus kusamperin si Ronald, mantannya Ribka waktu SMU yang mukanya kayak Utt. Trus kita pacaran, bikin heboh gosip selebriti, jadi artis sinetron! whuaaa!.
“Aku tau kamu mikirin apa, El.” Mendadak Ribka mengejutkanku.
“Apaan, Rib?”
“Kok aku mau ngemis sama si Jeffrey.”
“Mmm.”
Ribka membalikkan tubuhnya menghadapku.
“Aku sudah dua empat, El. Sudah tua.”
“Idih,” seringaiku,”dua empat kok tua.”
Ribka tersenyum,”Iya buat kita. Tapi buat Papa Mama itu sudah tua.”
“Trus?” tanyaku ingin tahu.
“Mereka suka banget sama Jeffrey. Kamu tau kan ortuku. Rada sakit,” Ribka menunjuk-nunjuk pelipisnya dengan jari. Aku tertawa.
“Tapi kamu juga, kan?”
Ribka balas tertawa,”Aku? Aku ngga tau. Yang kutau Jeffrey baik, trus ortuku setuju sama dia. Masih ingat Glenn?”
Kuanggukkan kepalaku.
“Glenn tuh cakep, baik, tapi ngga kaya,” lanjut Ribka,”kamu inget apa jadinya kan?”
“Iya,” jawabku. Backstreet gila-gilaan yang bikin heboh satu keluarga, trus yang ngebikin Ribka selalu diawasi kemana-mana.
“Tapi kalau sama Jeffrey, wuih, mana pernah aku dipelototin. Bahkan ga pamit kemana aja boleh. Asal sama Jeffrey, tau kan?”
“He-eh.”
“Makanya itu, El. Aku bingung.”
“Loh, kamu sendiri ke Jeffrey gimana?”
“Yang aku tahu sih dia baik.”
“Suka ngga? Cinta ngga?”
“ummm! ngga tau, El.”
“Haiyah,” seruku,”trus gimana dong?”
“Ngga tau. Tapi Jeffrey ngga boleh pergi.”
Aku termenung-menung. Susah juga ya, kalau begini keadaannya. Di satu sisi, aku percaya Ribka punya mau sendiri. Tapi ortunya Ribka. Hhhhh. Syukur deh aku ngga punya ortu yang terlalu nuntut.
“Trus maunya gimana, Rib?”
“Aku mau Jeffrey ngga pergi. Aku mau berubah. Aku pasti bisa.”
“Buat siapa? Kamu? Ato ortumu?”
“Dua-duanya.”
“Yakin?”
Ribka menganggukkan kepala.
“Tapi cowok masi banyak!”
“Aku mau Jeffrey!!”
“Aduh-aduh-aduh!. Ya udah. Besok aku temenin ke rumahnya. Kalo dia ngga mau kita keroyok aja ya.”
“Jangan, El, nanti mati.”
“Hahaha.”
“Hahaha.”
“Bobo, gih.”
“Good night, El.”
“Night, Rib.”
Lalu suasana hening. Dalam hening aku tahu pasti sekarang.
Aku ngga mau jadi Ribka. Nonik kebanyakan. Jijik abis.
Sebuah cerpen terbaru dari penulis yang sangat gw kagumi. Terus terang gaya penulisan dan obyek cerita gw sangat dipengaruhinya. Sekian lama menghilang, banyak yang berubah dari dia. Phenomenon. The Guru... Ternyata, dia pun sedang membangun biduknya. Berubah. Timingnya persis seperti yang sedang gw lakukan.