NAME: Bryan
LOCATION: West Djakarta!
BIRTHDATE: July 18th
SIGN: Cancer
ETHNICITY: Batak
HEIGHT: 173 cm
WEIGHT: 70 kg
CONTACT: myranselbaleno@yahoo.com
YM: myranselbaleno


















powered by FreeFind


Powered by Blogger Pro™
Klik untuk updating blog gw ini Subscribe to receive recently updated my blog.
...for your

side only!!




a painting by Michele Garvert

Wednesday, September 08, 2004

Ayah Bubur
Hari ini libur.
Abis mandi dan gosok gigi, aku turun ke food court apartemenku. Letaknya di bawah pohon rindang.
Sarapan bubur. Lebih tepatnya lagi ialah bubur-ayam-yang-terlalu-banyak-vetsinnya.
Dengan manisnya menunggu giliran, kulirik sekitarku. Aku sendiri orang ketiga yg menanti si mangkuk bubur panas.
Ada mas-mas gondrong pake celana pendek biru. Bekas parutan tatto di lengan kirinya membuat aku beringsut ke arah ujung bangku. Hii, serem.
Ada wanita, tiga puluhan mungkin umurnya. Konsumen pertama yang beruntung giliran pertama makan. Eh, ada anaknya. Digendong. Kok tadi ga kelihatan ya.
Singkat cerita, aku, mas-mas yang punya bekas tatto dan ibu td, selesai makan. Yang bayar pertama mas-mas lalu gw. Waktu gw masukin kembalian ke dalam dompet, terdenger suara si ibu.
"Makasih ya Ayah Bubur..."
Ini adalah kalimat sapaan. Jadi mestinya huruf kapital kan nulisnya?
"Iya, sama-sama. Besok lagi ya?" tukang bubur alias ayah bubur tadi ngejawab sambil nowel si anak (ya iyalah masa pagi-pagi udah nowel si ibu sih?) layaknya anak sendiri.
Si anak tampaknya sudah terbiasa dan balas tersenyum... dengan giginya yang jarang jarang itu.
Si ibu tadi tersenyum saja. Manis sekali, mungkin kembang di dusunnya dulu.
Orang lain di sekitar tampaknya sudah biasa dengan hal yang menurut ku aneh ini. Gw lihat emang si ibu itu ngga bayar. Mengenakan daster longgar dan tali beha entah-kemana-tahu itu bukan berarti dia nggak berduit. Tapi begitulah, dia bilang 'Ayah Bubur' dan mangkok tadi sudah dianggap lunas.
Ketika menghirup teh botolku, iseng bertanya hal-ikhwal kenapa si ibu tadi manggil Ayah Bubur sama bapak penjaga counter teh botol.
"Dulu suaminya jualan bubur di situ sebelum meninggal. Teman sekampungnya inilah yang sekarang memegang bekas daerah jualannya."
"Meninggal kenapa Pak?"
"Tersiram bubur panas waktu lagi masak."
Ngga kok, ini becanda. Aku ga tega nanya lagi penyebabnya.
Aku bangkit dan bergegas pergi dari situ. Sesuatu memaksaku menjauh sementara dari lingkungan yang sudah kuakrabi selama lebih dari empat tahun.
Terima kasih Ayah Bubur.
Aku belajar sesuatu pagi ini. Nilai kekeluargaan dan solidaritaslah yang membuat kita tetap hidup.

11:42 PM -
 

Comments: Post a Comment