NAME: Bryan
LOCATION: West Djakarta!
BIRTHDATE: July 18th
SIGN: Cancer
ETHNICITY: Batak
HEIGHT: 173 cm
WEIGHT: 70 kg
CONTACT: myranselbaleno@yahoo.com
YM: myranselbaleno


















powered by FreeFind


Powered by Blogger Pro™
Klik untuk updating blog gw ini Subscribe to receive recently updated my blog.
...for your

side only!!




a painting by Michele Garvert

Friday, July 15, 2005

Trauma tapi Rindu

Musim liburan bagi sebagian anak sekolah tinggal hitungan hari. Namun bagi mereka yang baru lulus SMU dan hendak melanjutkan ke jenjang universitas, masa libur adaalah masa sibuk. Sibuk mencari informasi, mendaftar, dan mengikuti ujian saringan masuk kampus yang mereka idamkan. Tentu saja, selalu ada anak berotak encer dari golongan pas-pasan yang tidak punya banyak pilihan. Salah satunya adalah Titin, sepupuku yang lucu dari Medan. Minggu lalu, ia sudah mendaftar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) di bilangan Kampung Melayu. Besok, ia merengek minta diantarkan ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di desa Jurangmangu, Pondok Aren yang jauh itu.

Tampaknya Titin yang alumnus SMU Sutomo Medan itu benar-benar berani dan penuh perhitungan. Melirik STK (Surat Tanda Kelulusan) miliknya, aku cukup kaget. Untuk tiga mata pelajaran yang diujiankan secara nasional (B. Indonesia, B. Inggris, Matematika) ia mendapat rata-rata delapan. Bahkan nilai tertingginya ialah Matematika! Aku jadi senyum sendiri. Delapan tahun lalu, aku harus puas dan tak boleh protes menerima nilai lima koma tiga untuk pelajaran yang cukup 'binatang' itu!

Hal unik dari Titin adalah pemilihan kedua perguruan tinggi itu. Persamaan dari STIS dan STAN adalah statusnya yang notabene kampus plat merah alias milik negara. Gratis! Bukan itu saja, baik kampus di Jakarta Timur dan kampus Tangerang itu merupakan tempat dimana aku pernah 'mendengar' ilmu. Iya, mendengar bukan menuntut. Karena jika memang benar aku menuntut ilmu maka nasibku mungkin bukan terperangkap dalam gerahnya kamar kos ukuran tiga-kali-tiga ini. Kalau berandai-andai, jika kutamatkan tiga tahun di kampus milik DepKeu itu seharusnya aku sudah jadi 'orang'. Punya rumah, mobil, deposito, seperti teman-temanku yang lain. Atau malah sudah menyekolahkan anakku di playgroup bergengsi. Ya, itu semua bisa terjadi jika saja indeks ku bisa melompati ambang dua koma enam. Hehe.

Ada seseorang lagi yang hendak mendaftar bersama rombongan kecilku. Walau belum dapat dipastikan akibat faktor biaya pendaftaran yang mungkin naik tahun ini, aku sangat berharap ia bisa ikut. Betatapun, tidak ada balas budi yang paling berharga bagi orang tua selain melihat anaknya mampu mengharumkan nama keluarga dan membanggakan kedua orangtua. 'Kamu bukan kanak-kanak lagi. Sudah saatnya menjadi laki-laki!'

Khusus nostalgia tentang kampus Jurangmangu, ada banyak cerita dan testimonial di Friendster-nya. Salah satu yang kutulis, tentang keramahan dan keterbukaan kampus ini terhadap ekosistemnya (baca: rumput, padi, singkong, kambing). Dulu ketika jam tidur siang dan aku masih stuck di lantai dua, kelas Pancasila yang sangat bored... tiba-tiba saja pintu terkuak dan ada kambing mengembik cempreng entah berapa desibel! Terang aja tanpa perlu dikomando lagi seisi kelas termasuk pak dosen tumpah ruah menertawai si gembala cilik yang lalai. Ya, waktu itu musim hujan dan si gembala yang masih bercelana sekolah itu terburu-buru memasukkan bandot-bandotnya yang sedang merumput ke dalam gedung F. Tidak itu saja, ia menggiring (pasti dengan susah payah!) piaraannya ke lantai dua... alamak. Dan tahukah kalian dimana kambing-kambing itu digiring? Balkon lantai, yng berada persis di atas pintu masuk gedung. Waktu aku sudah selesai kuliah membosankan itu, kukeluarkan Yashica E35-ku (dulu selalu siap sedia kapan dan dimanapun sebelum flash-nya rusak sekarang) dan kubidik dengan sudut pandang semut di halaman rumput yang masih basah. Sayang, adegan si gembala menggendong anak kambing di atas balkon yang sempat terekam sudah hilang negatifnya.

Aku juga sempat menjadi penyalur buras untuk kantin gedung F. Modalnya cuma dengkul. Sokongan berasal dari jari-jari cepat ibu kos yang memasak buras dan meminjamkan sepeda buatku untuk mengantarnya. Setiap pagi jika tidak ada kuliah kukayuh sepeda mini ibu. Sore pulang kuliah aku mengambil uang hasil penjualan hari ini. Acap kali aku berpapasan dengan Helmy Yahya yang hendak mengajar Diploma IV di lantai dasar gedung F. Aku tidak malu. Aku justru mengagumi pak dosen yang juga berasal dari keluarga susah itu. Di kostan, aku dan ibu kos segera membagi keuntungan kami hari itu. Ibu kos pernah bilang, 'Suatu hari kamu pasti jadi orang besar, Bryan.' Setiap lembar rupiah yang berpindah ke kantungku selalu kutabung buat travelling. Dua teman kos-ku yang lain sama sekali tidak tertarik. Mereka lebih suka berkutat dengan Fees & Warren edisi 16. Hehe.

Ohya, beberapa minggu yang lalu saat memilih salah satu tabloid komputer dan sekilas membaca... aku tersentak. Ada berita duka di halaman dua, Putra Oom Jono (Alphons Marjono) yang super lincah, fotografer Fotomedia dan koordinator foto PC Plus, meninggal akibat demam berdarah. Oom Jono sendiri adalah adik ibu kostku. Segera aku berlari menuju wartel dan menghubungi induk semangku di Jurangmangu. Suara laki-laki dengan logat Jawa kental yang akrab menjawabku.
'Terima kasih ya Bryan buat ucapan belasungkawanya. Nanti Bapak sampaikan sama Oom Jono'
'Maaf Pak. Saya baru sekarang menghubungi setelah 7 tahun. Apa kabar Wawan, Handi dan Agung, Pak?'
Agung, adalah teman yang mengisi kamarku selepas pengumuman drop out-ku.
'Oh, Agung udah menikah. Sekarang ambil diploma empat dan tinggalnya dekat sini kok. Ingat Pondok Safari kan?
Kalau Wawan, terakhir kesini Desember lalu. Setahunnya ibu.'
'Oh.. saya masih ingat. Komplek Pondok Safari ya rumah Agung. Hmm.. setahunnya ibu?
Maksudnya bagaimana pak?'
'Bryan, ibu sudah tidak ada lagi...'

What the?!?
Aku bertahan sebentar, mencoba tidak gugup karena setelah itu aku harus basa-basi sebelum menutup telepon. Sumpah, rasanya seperti kehilangan seseorang yang begitu istimewa. Ibu memang cerewet, kadang begitu perhitungan, selalu protes tiap pagi di ruang tamu gara-gara compo ibu raib (bu, aku minta maaf...telah menyusup tengah malam, menyelundupkan compo kesayangan ibu ke kamarku!), ibu yang pernah punya kantin paling murah dan enak di depan kampus...kantin penuh pengertian terhdap anak-anak kost bahkan seorang Edwin 'Libels' Manansang pernah ngebon sama ibu, ibu yang jebolan sekolah tata boga, yang punya jurus-jurus memasak handal... sudah berapa eksperimen ya bu kita lakukan tiap akhir minggu? Duh bu, maafkan anakm kostmu yang durhaka ini. :(

Esok, akan kusempatkan nyekar ke rumah barumu, Bu.
Tentunya setelah mengantar adik-adikku ke gedung tempat kita pernah menjual kue dan buras dulu.

3:24 AM -
 

Comments: Post a Comment