NAME: Bryan
LOCATION: West Djakarta!
BIRTHDATE: July 18th
SIGN: Cancer
ETHNICITY: Batak
HEIGHT: 173 cm
WEIGHT: 70 kg
CONTACT: myranselbaleno@yahoo.com
YM: myranselbaleno


















powered by FreeFind


Powered by Blogger Pro™
Klik untuk updating blog gw ini Subscribe to receive recently updated my blog.
...for your

side only!!




a painting by Michele Garvert

Saturday, September 10, 2005

Didekasikan untuk laki-laki yang melibas tanganku dengan penggaris kayu saat aku tak becus mengeja huruf di umur empat tahun. Jelang limapuluh lima tahun pada 28 September kelak.

September Bapak


Selasa pagi.
Hotel bintang empat yang terletak persis di pusat kota Buitenzorg.

Denting suara piring, sendok dan garpu mulai riuh seiring mulai banyaknya peserta seminar yang hendak sarapan di restoran bergaya art-deco. Pria-pria paruh baya berjas itu mengelilingi meja prasmanan yang menyajikan berbagai sarapan khas Buitenzorg, Indonesia dan Amerika. Ada roti unyil, roti tawar, bubur ayam, nasi goreng, sosis, udang goreng bumbu (gw ga tau namanya apa), nasi putih, serta tak lupa minuman orange juice, teh manis dan kopi.

Di meja dekat jendela besar, gw mengoles butter di atas lembar roti yang kedua sedangkan Bapak asyik menguliti udang gorengnya. 'Tempat boleh kota... tapi udang... hmm... cuma enak kalo dimakan dengan gaya kampung! Ya begini ini...tangan telanjang! Hehehe...' kilah Bapak di sela-sela kunyahan saat peserta lain menertawakannya. Lengan kemeja dan jas digulung hingga batas siku. Cuek beibeh. Kulit udang yang sudah dikupas ditaruh dalam bekas mangkok bubur ayam gw. Roti tawar jadi menu kedua gw setelah setengah porsi bubur tandas dua menit lalu. Bapak cuma ketawa menyeringai melihat menu perbaikan gizi gw. Orange juice dingin dalam gelas yang sudah berembun seolah memacu gw agar lekas menenuntaskan sarapan.


(Suara getaran handphone dalam saku jas)

"Bryan, coba kau jawab. Ada telepon masuk."
Nomor lokal suatu daerah.
"Selamat pagi, Pak. Saya bla-bla-bla, wartawan dari koran bla-bla-bla. Boleh minta waktu sebentar untuk wawancara? Seputar kasus pembebasan penyelundup bla-bla-bla, Pak. Sebentaar ajaa..." rayuan setengah manja di ujung telepon.
"Maaf, mbak. Saya pengawalnya. Bapak sedang sarapan. Gak bisa diganggu!" suara gw yang sok serem seolah ajudan presiden.
"Tolonglah Pak, sebentar aja.... Beritanya sudah dimuat di koran dan majalah nasional. Saya butuh jawaban Bapak. Gak lama kok, Pak. Saya tunggu ya."

(Pandangan ayah-anak penuh arti selama tiga puluh detik... sambil meneruskan sarapan, tentu!)

'Duh, Pak. Ada apa lagi nih? Apa gak cukup April lalu Bapak dipanggil Polres?'
'Tenang Nak. Dulu rumah kita dilempar, anjing kita diracuni, tapi kita baik-baik aja kan?'

Tangan gempal dan kasar itu meraih handphone yang peneleponnya masih sabar berinterlokal.
"Halo..., ya saya sendiri. Mau wawancara tentang apa tadi?" suara Bapak yang desibelnya di atas rata-rata itu cukup mengalihkan keriuhan sarapan pagi itu. Meja-meja lain sejenak tampak tertegun namun masih meneruskan makan mereka.

....
"Begini, anak buah kami yang nangkap tapi karena anggotanya sedikit... mereka jadi gak pede. Makanya mereka minta aparat BC membantu. Tapi belakangan, oknum dilepaskan BC tanpa sepengetahuan kami.... Ya, kami memang salah. Aparat kami gak pede. Kalau dari kami, negara tidak banyak dirugikan... justru seharusnya Anda wawancara Kepala BC di sana. Jumlah negara dirugikan jauh lebih besar dari instansi saya akibat tindakan mereka sendiri. Beratnya ratusan kilo lho itu!!"

Kalimat berikutnya lebih mirip kisah pertarungan antarinstansi plat merah yang selama ini terjadi di sebuah kawasan. Lebih tepatnya lagi, kantor yang Bapak pimpin dikepung berbagai kepentingan perut-perut oknum pemerintah hingga aparat keamanan yang lapar uang sogokan. Semuanya bermain aman, halus, nyaris tanpa suara selama kurun waktu yang lama. Oknum polisi, tentara perbatasan, BC, bahkan Muspida, selalu meminta upeti sebagai uang tutup mulut para importir ilegal atau penyelundup.

Aku menyeruput orang juice sebagai kamuflaseku saat mengobservasi situasi sekitar. Mereka tampak gelisah, air muka menandakan ketidaksukaan pada Bapak yang serba sok. Ya, sok bersih, sok disiplin. Kening mereka terlihat sedang mengutuk Bapak - abdi negara yang mencoba hidup lurus dengan karir tersendat selama tiga puluh tahun lebih. Hawa panas dalam benak mereka mengalahkan sejuknya AC restoran ini. Mestinya hawa itu menguap lalu mengembun untuk kemudian menjadi kolam cermin bagi pengabdian mereka di republik ini.


Di kamar 330.
Seorang wanita cantik - buatku ia selalu cantik meski warna rambutnya merah norak seperti ibu metropolitan yang genit - terkekeh menyambut kami yang kepayahan jalan gara-gara kekenyangan. Cerita di restoran tadi kuulang lagi kepada Mak. Bertukar cerita dengan heboh-paniknya ia memutar terlalu banyak kran air panas daripada kran dingin di bath tube tadi. Bapak diam. Aku dan Mak tertawa tapi kami semua tahu kejadian-kejadian yang mesti keluarga hadapi jika pulang nanti. Keluarga yang kumaksud hanya dua orang, Bapak dan Emak. Hanya merekalah penghuni rumah dinas yang lantai kayunya sebagian telah amblas ke dalam tanah gambut. Cuma mereka, sepasang orang tua yang kebetulan pegawai negeri merangkap petani.

Berhimpun dalam rasa gentar yang sama ketika satu malam yang berhasil mereka lewati... ada yang menghujani lemparan batu atap rumah. Menabrak dengan sengaja mobil bapak suatu sore saat dalam perjalanan pulang dari kantor. Bahkan barang-barang elektronik dengan teganya mereka curi tengah hari bolong, hari Minggu - hari yang mereka hormati dengan santun beribadah - saat Mak dan Bapak bersujud di gereja. Mengepung rumah, meneror lewat telepon agar Bapak tak berani angkat bicara akan kasus-kasus penyelundupan yang sudah terjadi. Semua kekonyolan preman-preman sontoloyo itu dikomando pengusaha rakus dan tengkulak berhati tengik. Sungguh sukar dicari buktinya, alih-alih mencari saksi.

Ini memang skenario kehidupan yang amat sangat sulit dielakkan. Mengajariku bahwa memandang hidup tak bisa dilihat seperti hitam di atas putih.


September Bapak.
You must be tough, Chief.

12:40 AM -
 

Comments: Post a Comment