NAME: Bryan
LOCATION: West Djakarta!
BIRTHDATE: July 18th
SIGN: Cancer
ETHNICITY: Batak
HEIGHT: 173 cm
WEIGHT: 70 kg
CONTACT: myranselbaleno@yahoo.com
YM: myranselbaleno


















powered by FreeFind


Powered by Blogger Pro™
Klik untuk updating blog gw ini Subscribe to receive recently updated my blog.
...for your

side only!!




a painting by Michele Garvert

Friday, October 07, 2005

Panti Rehab, Panti Laknat (bag. 1)

Dua belas kali dua puluh empat jam tinggal di bawah satu atap dengan bromocorah yang tobat, perempuan Chinese korban perkosaan, pengedar narkoba beristri tiga, cewe-cewe mongoloid yang dibuang keluarganya. Kaum yang selama ini kupandang sebelah mata. Bersama mereka, aku berbagi hangatnya suasana keluarga hingga berebut sayur sop yang terlalu banyak kuahnya.


--o--


"Sepertinya ada yang salah dengan bajuku, aku berasa diikutin intel," keluhku lima belas jam sebelum aku 'dijemput'.
"Kamu tuh... terang aja. Lihat, kaus merah PRD-mu itu!" kakak menjambak bajuku.
"Ini dari teman seperjalananku di Yogya, kami bertukar kaus waktu aku motret PRD demo di sana." aku menepuk ujung kaus merah yang sempat kusut.
"Iya, tapi lihat hasilnya. Kostku mondar-mandir dilewatin orang asing, yang jelas bukan penduduk sini. Udah tau hawa Pemilu masih panas. Agh!" kakakku berlalu.

Aku enggak nafsu makan. Ketakutan. Selama empat hari aku tak pernah keluar dari kostan khusus cewek ini kecuali beli rokok. Sesekali aku menyelinap ke lantai paling atas - tempat jemuran pakaian - saat kakak pergi kuliah. Saat sore, saat matahari terbenam di kawasan Sekeloa. Melamunkan pemandangan pemukiman Bandung yang padat sambil menghabiskan batangan-batangan filterku.

Menurut kakakku, aku mengidap paranoid akut. Beberapa temannya, cewek maupun cowok, diundang main ke kamar. Sekedar memancing topik obrolan dariku. Ada yang lucu, ada yang garing. Tapi aku tetap dingin. Beberapa malah membawa alkitab, mungkin dipikirnya aku kerasukan setan. Aku tersenyum geli tiap mengingat kejadian ini. Seorang cowok kurus, berkacamata minus, dengan gagah dan lantangnya setengh memaksa agar aku ikut berdoa bersama. Aku diam namun akhirnya ikut larut di dalam mantra doanya. Dan... dengan sukses aku tertidur di pojokan kasur akibat terlalu lama menunggu kata 'amin'.


Keesokan pagi.
"Ayo bangun! Udah ikut aja!" tangan hitam legam merengut bahuku. Setengah sadar, aku dipaksa memanggul ransel dan disuruh jalan. Orang itu berdiri di samping, menggamit tangan kananku. Tinggi 180-an cm, kekar, berambut cepak dan kriting, dan masih muda, sepertinya berasal dari Irian. Aku masih terpana. 'Aku diculik? Mau dibawa kemana?' Di pintu rumah, kakak dan pacarnya sedang berbisik-bisik dengan pria lain yang seumuran bapakku. Ia sekilas melirikku dan kembali sibuk bicara dengan kakak. Sorot matanya tajam seperti elang, menakutkan. Tubuh tegapnya mengesankan ia cukup rajin push-up.

Si Irian menyentak tanganku, "Ayo terus jalan!". Menyusuri gang-gang labirin, melewati kios rokokku, setengah tertunduk aku mengacuhkan tatapan bingung Mamang pemilik kios rokok. Aneh, aku diam seperti dihipnotis. Tidak berteriak minta tolong, memanggil nama kakak pun tidak tadi....

Hingga sampailah aku di dalam sebuah minibus Zebra. Pintu dibanting. Aku didudukkan di bangku tengah. Si Irian menggeserku lebih ke tengah lagi. Semua gerakannya tergesa-gesa. Di kursi depan tak ada siapa-siapa. Aku masih belum membuka mulut. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Pertanyaan siapa yang mengemudi terjawab setelah si Mata Elang bergegas duduk di kursi supir. Zebra pun meluncur dari parkiran Tugu Pancasila itu.


Aku lupa berapa lama perjalanan horor itu. Yang kuingat hanya gantungan salib di kaca spion dalam. Sekelebat ada pengendara motor berbaju loreng yang mengikuti separuh perjalanan kami. Jalanan berbatu. Rumah-rumah yang jaraknya mulai jauh satu sama lain. Hawa dingin yang mulai menyeruak. Gendang telinga yang mulai bergemeretak.

Zebra hijau itu akhirnya berhenti di depan gerbang hitam sebuah rumah besar. Seorang satpam, lagi-lagi Irian, tergopoh-gopoh membukakan pintu dan menunduk hormat pada si Mata Elang. Tampaknya dia cukup punya kekuasaan di rumah ini. Di sebelah kanan halaman ada dua buah ayunan, tiang-tiang buat latihan pull-up, dan alat latihan angkat-berat yang terbuat dari semen. Semuanya berserakan di bawah pohon rindang.

Aku segera turun, ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Si Irian merampas ransel Baleno-ku. Mata Elang akhirnya buka suara, "Bryan, ya? Langsung masuk ya. Anak-anak sedang makan siang sekarang. Semestinya sih, udah jam 11.30 sekarang."

Kakiku setengah ragu melewati pintu utama rumah. Ruang pertama berisi perabotan meja, kursi khas kantor, lengkap dengan bendera di pojok kiri, foto presiden dan wakil presiden. Lemari kayu berada di kiri dinding, menghadap sofa tamu. Kira-kira berukuran 5x5 meter dan bercat putih pucat. Tak ada orang di ruang yang cukup lega ini. Aku menuju pintu tripleks tak bercat yang setengah terbuka. 'Mungkin ini menuju ruang utama', pikirku. Tunggu dulu, ekor mataku menangkap sebuah poster kecil di dinding kanan - bagian yang terlewatkan dari perhatianku. Tulisannya cukup terbaca dari posisiku berdiri, 'Menerima diri sendiri dan mengembangkan potensi diri." Entah apa maksudnya. Mungkin nanti kutemukan jawabnya di dalam.

"Selamat datang..." seorang ibu bertubuh tambun memelukku, "Belum makan kan? Siapa namamu?" matanya menyelidik."Bryan, bu." aku agak risih dipeluk sok akrab begitu. Aku rasa aku masih shock dengan kejadian siang ini."Oh iya, mari ke ruang makan... Anak-anak belum berdoa kok, baru mau makan mereka." ibu itu berjalan di depan.

Belum sampai di ruangan makan, tapi aku bisa menebak akhirnya tempat apa ini.
"Pak Genduuuutt, mau sayur apa?"
"Ga mau sayur! Sayurnya kacang lagi kacang lagi!"
"Franky, kamu jangan ambil dua ikan! Seorang satu tauuuk!!"
"Bodo...."

Ibu tambun, "Elly, coba carikan kursi buat Bryan. Oya anak-anak... ini Bryan, anak baru. Semuanya bilang selamat siang, ayo!"
Aku baru memunculkan kepalaku, setengah linglung, hanya tersenyum dan melambaikan tangan, "Halo semuanya..."
"Selamat siaaaang, Bryan" koor mereka.
Tatapan mereka... tatapan yang tak asing buatku. Yang perempuan matanya kosong, setengah bloon. Yang laki-laki seperti tak suka melihatku. Tapi pupil mereka.... pupil mereka rata-rata setengah hilang. Ada yang kepalanya dicukur asal-asalan, rata-rata kaum lelaki bertubuh kurus kecuali... seorang tua yang luar biasa gendutnya. Engkoh setengah gila yang persis duduk di sampingku, badannya bau pesing! Hmppffh!!

Tiba-tiba cewek mongoloid bernama Elly tadi segera menggandengku. "Bryan kamu duduk di pojok yah. Duduk yang manis yah?" Aku merasa seperti hari pertamaku masuk sekolah dasar dulu. Ingin lekas-lekas pulang....

6:30 AM -
 

Comments: Post a Comment